Marie Kondo Dalam Renungan Ramadan

Senin, 8 April 2024

Aku melajukan mobilku dari rumah Ibuku di Bogor ke Mall of Indonesia (MOI) di Kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara di sore ini. Jalanan ibu kota tampak mulai kesepian, ditinggalkan oleh mereka yang biasa memadati tol dan jalanan dengan kendaraannya.

Hari ini, aku jauh-jauh datang ke MOI untuk memenuhi undangan buka puasa serta berbagi renungan ramadan yang digelar oleh grup bernama “Creator Club”, dengan “ketua kelas”-nya adalah Denny JA. Sebuah grup kecil namun berisi nama-nama besar yang luar biasa hebat. Entah mengapa, jalan dari Tuhan membawaku masuk ke dalam grup tersebut. Padahal, tentu namaku belum sebesar para anggota di dalamnya.

Pertemuan kali ini diadakan di VIP Room, Restoran Chongqing Hotpot di MOI. Aku sebagai penggemar makanan hotpot dan grill sudah pasti tidak bisa menyembunyikan gairahku untuk menyantap makanan di restoran ini.

Makanan yang disajikan di VIP Room, Restoran Chongqing Hotpot, MOI, Jakarta/Dok. Pribadi

Usai azan Magrib berkumandang, aku menikmati setiap kunyahan di mulutku. Pada setiap gigitan slice beef yang empuk dan tebal, udang yang gemoy dan gurih, lotus root (akar teratai) yang rasanya menyatu pas dengan kuah laksa, serta jamur shitake yang kenyal, aku tidak hentinya menyisipkan doa di dalam hati.

”Ya Tuhan, jika Engkau izinkan, aku ingin bisa mengembangkan Makan Di Jepang menjadi restoran besar seperti ini, yang memiliki banyak pelanggan dan memiliki cabang di beberapa lokasi premium. Aku akan berusaha memantaskan diriku, sampai Engkau merasa aku mampu berada di titik tersebut, amin”.

Makan Di Jepang sendiri adalah sebuah restoran kecil yang mengusung konsep shabu & grill yang aku dirikan sejak Oktober 2023 di Citra Maja Raya, Lebak, Banten. Mimpi besar dimulai dengan langkah kecil, bukan?

**

Usai berbuka puasa dan bergantian menunaikan ibadah shalat Magrib, pertemuan tersebut kemudian dilanjutkan dengan berbagi renungan ramadan. Ini adalah sesi di mana masing-masing anggota berbagi soal perenungan batin seperti apa yang mereka jalani dan lalui di momen ramadhan tahun ini.

Aku membuka telingaku lebar-lebar untuk mendengarkan cerita, perenungan, kearifan serta sudut pandang dari para anggota Creator Club tersebut. Aku merasa semakin kaya akan kearifan yang aku ambil sarinya dari cerita-cerita mereka. Tentu, bukan kewenanganku untuk membagikan cerita itu.

Tiba giliranku untuk berbagi renungan ramadan yang aku alami. Berikut ceritaku:

Aku di buka puasa bersama dan renungan ramadan Creator Club/Dok. Pribadi

Ramadan kali ini membawaku pada sebuah perenungan diri akan konsep hidup minimalis. Hal ini berangkat dari sebuah situasi sederhana di mana aku kesulitan mencari pakaian yang pantas aku kenakan untuk menghadiri sebuh acara di awal ramadan.

Jadi, di sudut kamarku, aku memiliki sebuah lemari pakaian yang besar. Lebarnya hampir tiga meter dan tingginya sekitar dua meter. Lemari itu terbuat dari kayu jati yang solid dan kokoh.

Di dalam lemari itu, aku menyimpan banyak sekali pakaianku. Ada pakaian yang digantung, ada yang dilipat dan ada juga yang dimasukkan ke dalam laci.

Pada saat itu, aku hendak mencari pakaian untuk menghadiri acara buka puasa bersama. Namun saat aku membuka lemariku, aku kesulitan mencari pakaian yang aku maksud. Aku bahkan merasa kesal melihat isi pakaian di dalam lemariku tampak penuh sesak. Begitu sesaknya sampai membuatku sulit mengambil atau melihat pakaian-pakaian yang aku simpan di lemari itu.

Situasi itu membawa kesadara pada diriku bahwa rupanya aku terlalu lama menumpuk pakaian yang tidak pernah aku gunakan, atau aku hanya gunakan satu-dua kali. Apakah itu pakaian pesta yang terlalu gemerlap, atau pakaian yang aku beli karena impulsif melihat harga diskon, atau pakaian yang ukurannya sudah tidak lagi pas di tubuhku.

Memoriku Kembali pada momen beberapa tahun lalu, mungkin sekitar tahun 2016. Saat itu aku masih aktif menjadi wartawan di media online, RMOL (dulunya Rakyat Merdeka Online). Pada saat itu, aku mempelajari soal konsep hidup minimalis. Salah satu buku yang menarik perhatianku adalah “The Life-Changing Magic of Tidying Up: The Japanese Art of Decluttering and Organizing” karya Marie Kondo. Ia merupakan seorang pakar dan praktisi konsep hidup minimalis dari Jepang. Bukunya itu bahkan diangkat menjadi serial di Netflix.

Aku tertarik dan mengagumi konsep hidup minimalis sejak saat itu. Meski harus aku akui bahwa dalam menjalankannya tidaklah mudah. Butuh konsistensi yang kuat, di tengah situasi yang bergerak dinamis. Aku sendiri tidak mengklaim diriku sebagai seorang minimalism. Aku masih terus belajar menuju ke arah sana. Karena dalam beberapa momen, aku masih kerap merespon situasi yang berubah dengan belanja impulsif.

Di dalam konsep hidup minimalis, sebagaimana juga digaungkan oleh Marie Kondo, ada satu proses penting yang perlu dilakukan, yakni decluttering, atau berbenah. Proses ini bersifat repetitif, artinya perlu dilakukan secara berkala oleh mereka yang menjalankan konsep hidup minimalis. Namun, bagi yang belum terbiasa, proses decluttering adalah momen yang sangat berat dan menguras emosi.

Pada proses ini, kita belajar untuk menikmati kepergian. Kita belajar melepaskan apa yang dirasa kurang esensial dari barang-barang yang kita miliki.

Dalam kasus aku, proses decluttering ini dilakukan dengan cara pertama-tama mengeluarkan semua pakaian dari dalam lemariku. Aku kosongkan isi lemari. Tujuannya adalah untuk melihat dengan utuh, seberapa banyak pakaian yang aku miliki dan aku simpan di dalam lemari. Hasilnya, aku mendapati tumpukan pakaian yang menggunung. Aku bahkan merasa pusing melihat tumpukan pakaian tersebut.

Setelah aku keluarkan semua isi lemariku, kemudian aku “berkomunikasi” dengan setiap pakaianku yang menggunung itu. Caranya adalah dengan aku sentuh satu per satu pakaianku, lalu aku biarkan tubuhku merespon dengan sendiri. Apakah pakaian yang aku sentuh ini memicu kegembiraan (spark joy) di dalam diriku? Marie Kondo mendeskripsikan “spark joy” itu sendiri sebagai sedikit sensasi di dalam tubuh kita seolah-olah ada sel-sel dalam tubuh yang meningkat. Sementara aku menafsirkan istilah itu sebagai getaran dalam tubuh yang muncul.

Jika rasa gembira (joy) itu muncul saat aku menyentuh pakaianku, maka pakaian itu layak aku simpan. Sebaliknya, jika rasa gembira itu tidak hadir, maka pakaian itu aku sisihkan sejenak.

Proses decluttering ini tidak selesai dalam satu hari. Lebih karena egoku yang enggan untuk melepaskan isi lemariku yang tidak “spark joy”.

Setelah beberapa hari melakukan proses decluttering itu, aku menemukan bahwa sebagian pakaian di lemariku tidak memicu kegembiraan pada diriku. Sementara sebagian lainnya memicu kegembiraan. Pakaian yang masuk ke dalam kategori ini utamanya adalah pakaian yang fungsional, artinya adalah pakaian yang nyaman dan biasa aku pakai untuk aktivitasku, apakah bekerja, yoga, atau santai. Juga ada beberapa pakaian yang memicu kegembiraan karena memiliki memori tersendiri atau merupakan pemberian dari orang yang berharga.

Pada pakaian yang masuk ke dalam kategori “tidak memicu kegembiraan”, satu per satu aku ucapkan terima kasih dan selamat tinggal. Aku melepas mereka dengan penuh kasih dan hormat. Pakaian-pakaian itu pun kemudian aku donasikan pada sebuah momen amal yang aku gelar bersama kawan Komunitas Maja Ngariung di Kampung Pojok Curugbadak, Maja, Lebak, Banten dengan harapan bahwa pakaian itu akan memicu kegembiraan dan membawa manfaat bagi orang-orang yang menerimanya.

Bazar Ramada Gratis di Maja/Dok. Pribadi

Setelah selesai melakukan proses decluttering, aku mendapati bahwa lemariku menjadi lebih lapang dan tampak rapi. Aku bisa melihat dan menggapai dengan mudah satu per satu pakaianku. Aku juga bisa dapat dengan mudah mengklasifikasikan pakaian-pakaianku yang aku pertahankan karena i tadi, berdasarkan warna dan kategori penggunaan. Apakah digunakan untuk santai, atau keperluan bekerja, atau pakaian pesta.

Lebih dari sekedar rapi, isi lemari yang lapang dan sudah aku pilah isinya itu juga membawa efek baik pada diriku secara psikologis, terutama karena aku bisa menghemat waktu untuk memilih pakaian dan merapikan pakaian di lemari yang lapang. Situasi itu juga membuatku merasa jauh lebih bersyukur dengan apa yang aku simpan dan aku pertahankan di dalam lemariku. Karena setiap pakaian yang aku simpan, memiliki makna, cerita, memori serta manfaat tersendiri.

Tidak berhenti sampai di situ, aku juga menjadi semakin selektif dalam memilih pakaian baru apa saja yang aku izinkan masuk ke dalam lemariku. Jika aku melihat pakaian yang cantik di etalase toko di mall yang membuatku tertarik, aku pandangi dalam-dalam selama beberapa saat. Untuk aku cerna, apakah pakaian ini benar-benar aku butuhkan dan aku inginkan? Atau jangan-jangan, rasa tertarik itu hanya hadir sesaat, yang bisa membuatku tertipu dan membuatku belanja implusif dan pada akhirnya, jika aku membeli pakaian itu, akan membuatnya menumpuk tidak berguna di dalam lemariku, membuatnya berantakan seperti dahulu kala.

Karena itu, aku muncul dengan kesadaran bahwa, tidak semua pakaian bagus yang aku suka, perlu aku beli. Sering kali, lebih baik pakaian itu dibiarkan saja di manekin toko, dan cukup membahagiakanku dengan hanya melihatnya. Karena aku tahu, kalaupun aku beli, tidak akan aku gunakan.

**

Namun, ramadan kali ini bukan hanya soal decluttering isi lemariku. Proses “decluttering “tersebut juga aku lakukan pada isi hati dan pikiranku.

Aku menyadari bahwa isi kepala dan hatiku yang belakangan kurasa penuh sesak, itu terjadi karena aku terlalu banyak menyimpan rasa dan memori yang tidak “spark joy” di dalam hati dan pikiranku.

Apakah itu rasa kecewa akan seseorang, atau rasa sedih akan kehilangan sesuatu, atau rasa gusar akan situasi yang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, serta rasa-rasa lain ataupun memori dan pikiran lain yang tidak memicu kegembiran, masih tersimpan di dalam hati dan pikiranku.

Akupun melakukan proses “decluttering” itu. Berbenah dan memilah, rasa serta memori dan pikiran apa yang ingin aku simpan di dalam hati dan pikiranku. Pada rasa dan memori yang tidak spark joy, aku ucapkan terima kasih, karena bagaimanapun mereka telah memberikan manfaat pada diriku. Lalu aku keluarkan dari isi lemari hati dan pikiranku.

Lalu kemudian, aku menemukan bahwa isi hati dan pikiranku lebih lapang. Membuatku merasa lebih bersyukur atas apa yang bisa kupertahankan di dalamnya. Aku juga semakin selektif dalam memilih “rasa” dan “memori” apa saja yang mau aku simpan di dalam isi hati dan pikiranku, atau mau aku biarkan saja mereka berada di luar lemari. ***

Tulisan ini dipublikasikan di Sudut Pandang. Tandai permalink.

One Response to Marie Kondo Dalam Renungan Ramadan

  1. Akaha Taufan Aminudin berkata:

    Mantap surantap semangat Sepanjang Masa Succesful Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN TERUS BERGERAK PESAT Melejit ✒️ Aamin ya rabbal alamin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *