ADA kesamaan antara Fernando Botero, pelukis ternama asal Kolombia yang saya kagumi, dengan Denny JA, tokoh top Indonesia di bidang konsultan politik, kepenulisan dan seni budaya, soal lukisan. Setidaknya tentang substansi lukisan. Botero dan Denny JA, menurut saya, sama-sama mempunyai pandangan bahwa karya seni harus memberikan kesenangan.
“Art was created to give a pleasure”. Begitu pandangan Botero yang kerap dia gaungkan dalam banyak kesempatan semasa hidupnya.
Fernando Botero banyak dikritik soal pandangannya ini. Tapi dia bergeming. Bahkan beberapa bulan sebelum kematiannya di akhir 2023, dalam sebuah wawancara dengan The New York Times, dia bersikukuh dengan pandangannya itu.
Denny JA juga tampaknya memiliki pandangan serupa, dengan cara yang berbeda, yakni melukis dengan bantuan artificial intelegent (AI). Hal ini dibuktikan dengan jumlah karya lukis yang telah ia lahirkan, mencapai ratusan lukisan.
“Kutiupkan nafasku dan emosi ke dalam lukisan yang dibantu oleh Artificial Intelligence” begitu kutipan Denny JA yang tertulis di atas kanvas dan dipajang di sudut Mahakam Residence 24, yang saya lihat saat berkunjung ke sana awal Juni 2024 ini.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa lukisan AI adalah cara Denny JA mengemas keresahan, cara pandang dan narasi dalam bentuk seni yang indah untuk memberi kesenangan pada siapapun yang melihatnya.
Namun berbeda dari Botero, lukisan Denny JA tidak dipajang di galeri seni ataupun museum, melainkan di hotel. Sebanyak 188 lukisan AI karya Denny JA dipajang dengan rapi di Mahakam 24 Residence, sebuah hotel yang terletak di kawasan premium, yakni Mahakam di Jakarta Selatan.
Lukisan-lukisan tersebut menambah sentuhan aesthetic dan membawa ambience bak galeri seni pada hotel enam lantai itu. Lukisan-lukisan itu bukan hanya memanjakan mata para pengunjung hotel, melainkan juga membawa cerita yang bisa ditafsirkan dengan merdeka oleh setiap orang yang melihatnya.
Cara Denny JA memamerkan lukisannya itu memperkaya cara pandang saya mengenai lukisan. Jika menyebut kata “lukisan”, hal yang melintas di benak saya kini bukan saja “galeri seni atau museum”. Tetapi kini juga muncul dinding enam lantai di sepanjang selasar hotel tersebut.
Saat berkunjung ke hotel tersebut, saya menyempatkan diri untuk berkeliling di setiap lantainya. Menikmati satu per satu lukisan yang dipamerkan. Meski begitu, pikiran saya berkeliaran. Saya kira pengunjung hotel juga bertanya-tanya, Bagaimana caranya sang pelukis melahirkan ratusan lukisan dengan beragam tema itu. Apalagi jika mereka tahu bahwa yang melukis adalah seorang konsultan politik, bukan pula seorang pelukis profesional sejak dulu.
Tidak berlebihan rasanya jika sederet tokoh dan media nasional menyebut Denny JA sebagai pelukis dengan AI pertama di Indonesia. Memang, sampai saat ini belum muncul nama pelukis lain yang menyelesaikan karyanya berbantuan dengan AI.
Namun AI bukanlah fondasi dari lukisan yang dibuat oleh Denny JA. Sama seperti cat dan kuas, AI hanya salah satu alat yang digunakan untuk melukis.
Fondasi dan ruh utamanya justru kental terasa dari kemampuan Denny JA dalam menangkap fenomena sosial dan menempatkan sudut pandang serta narasi yang kemudian dikemas dalam bentuk lukisan.
Saya tersentuh ketika berada di lantai paling atas. Di lantai ini dipasang sejumlah lukisan yang menggambarkan imajinasi anak-anak. Sesaat memandang lukisan itu, memori masa kecil saya bangkit dan bekelebat dengan cepat dari alam bawah sadar.
Mata saya nyaris tidak berkedip ketika menatap lukisan yang menggambarkan anak kecil duduk di atas pesawat kertas yang sedang terbang. Saya ikut larut ke dalam lukisan tersebut. Saya dibawa ke masa silam seorang gadis kecil dari sebuah desa di Bogor yang asyik bermain dengan pesawat kertas. Begitu asyiknya, hingga saya serasa ikut terbang di atas pesawat itu, terbang mengikuti kemana angin membawa. Seperti kata Botero ada rasa senang terasa di hati ketika menatap lukisan ini.
Satu lantai di bawahnya, Imajinasi saya berbalik arah. Saya melihat penderitaan manusia di Gaza, Palestina. Ada satu lukisan yang paling menyentuh hati saya: seorang bocah laki-laki berlutut di tengah reruntuhan bagunan, di atasnya ada langit berwarna merah. Bocah itu mengenakan kaus lusuh dengan gambar bendera Palestina di dadanya. Dengan tatapan nanar, bocah yang bertelinga besar itu memandangi sekitarnya. Seolah-olah telinganya itu mendengar sekecil apapun suara di sekitarnya. Di punggungnya terdapat sepasang sayap yang lebar, bak burung yang bersiap terbang.
Hati saya tergores. Saya membayangkan bocah itu menatap sedih kampung halamannya yang porak poranda akibat serangan bom Israel jahat. Anak itu begitu merindukan langit yang biru. Karena yang ia lihat setiap hari adalah langit berwarna merah dan abu-abu pekat, akibat serangan bom di udara yang entah kapan akan berhenti. Dengan berat hati, ia pun pergi dengan sayapnya meninggalkan kampung halaman yang dicintainya, untuk menemukan langit yang biru di atas sana.
Berada di hotel ini membawa pikiran saya berkelana ke sana kemari, dan membawa kesadaran baru bahwa teknologi menawarkan alternatif baru untuk berekspresi. Dalam konteks ini adalah AI.
Sebagai manusia, saya memiliki keresahan tersendiri saat mengamati atau membaca fenomena sosial yang terjadi. Misalnya, ketika saya membaca berita mengenai satu keluarga yang memutuskan untuk bunuh diri dari atas gedung apartemen di Jakarta pada Maret 2024 lalu. Hati saya terusik, membayangkan bagaimana percakapan terakhir yang muncul di antara ayah, ibu, dan kedua anaknya itu sebelum akhirnya bunuh diri.
Keterusikan itu rasanya ingin saya ungkapkan dan ekspresikan dalam sebuah karya yang indah, agar perasaan yang sama juga bisa ditularkan ke orang lain yang menikmati karya saya, dalam bentuk lukisan atau tulisan. Saya belum menjadi penulis atau pelukis professional. Dua hal itu baru sebatas hobi bagi saya. Rasanya suatu saat ingin saya tuangkan dalam lukisan menggunakan AI seperti Denny JA, dan akan memberikan kesenangan kepada saya seperti diungkapkan oleh Botero.
Menurut saya Denny JA telah membangkitkan kesadaran baru tentang cara berekspresi, dalam hal ini berkolaborasi dengan AI. Bagi Denny JA melukis bukan soal cat, kuas, dan galeri seni.
Melukis adalah soal kemampuan mengemas keresahan, narasi, cerita, dan sudut pandang seorang pelukis. Jadi, ini bukan soal teknis semata. Juga jiwa dari lukisan itu. Cat dan kanvas adalah salah satu alat saja. Sama dengan Artificial intelligence juga alat. Sedangkan galeri seni dan museum adalah salah satu media untuk memamerkannya. Di era saat ini, tempat untuk memamerkan karya seni bahkan lebih luas lagi, seperti di hotel. Atau di aneka media sosial. Rasa senang mengalir ketika kita berkarya dan memamerkan karya itu, di mana pun media yang dipakai.
Di sini saya teringat pada Botero tadi. Saya pertama kali jatuh hati pada karya Botero yang khas, yaitu proporsi tubuh dan bentuk yang bervolume saat melihat langsung karya-karyanya di Museo Botero di Kawasan La Candelaria, di jantung Kota Bogotá, Kolombia tahun 2015 silam. Saat itu saya sedang mengikuti short course di Universidad Externado de Colombia melalui program ELE Focalae atau Foreign Language Focalae initiative.
Seperti saya sebut di atas, saya juga tertarik pada Botero tentang sudut pandangan tentang lukisan yang tidak umum. Dia mempunyai kutipan yang terkenal: “art was created to give a pleasure”.
Banyak seniman yang tidak setuju dengan pandangannya. Tidak heran dia dihujani kritik bertubi-tubi. Dalam wawancara dengan The New York Times, beberapa bulan sebelum ia wafat di akhir 2023 lalu, Botero ditanyakan kembali soal sikapnya mengenai karya seni.
Sang pewawancara menanyakan padanya, banyak kritik seniman menyebut bahwa jika menurut Botero karya seni diciptakan untuk memberikan kesenangan, maka itu adalah pelacuran. Botero menilai bahwa kritik seperti itu konyol. Kritik semacam itu juga yang membuat seni tampak terlalu serius.
Menurut Botero, seni diciptakan untuk memberikan kesenangan. Bahkan panorama sejarah seni rupa, hampir setiap lukisan merupakan potret, atau pemandangan keagamaan, atau lanskap, atau benda mati yang dikemas untuk memberikan kesenangan bagi yang melihatnya.
Saya mengamini pandangan Fernando Botero. Dengan cara ini saya menikmati setiap lukisan AI di Mahakam 24 Residence. Saya menemukan kesenangan tersendiri. Ada ragam warna rasa yang muncul di hati saya saat mengarahkan mata ke lukisan-lukisan tersebut. ***
Catatan:
Artikel ini sudah dipublikasikan di beberapa media nasional.
Rakyat Merdeka: Klik di sini
Info Indonesia: Klik di sini
Orbit Indonesia: Klik di sini
Cakra Dunia: Klik di sini
Publikasi artikel ini di beberapa media/Dok. Pribadi